Tag Archive | BSNP

Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah

Perselingkuhan itu seperti candu.Konon, selingkuh itu kependekan dari ‘selingan indah keluarga utuh’. Di tempat kerja kulihat beberapa teman berselingkuh. Mereka menikmatinya dan bahagia. Bahkan, ada beberapa yang kemudian memilih serius dengan selingkuhannya.

“Wow, betapa asyiknya punya selingkuhan!” Itu yang terpikir di benakku. Melihat kebahagiaan teman-teman yang berselingkuh, aku pun tertarik mencoba. Aku berharap bisa men-dua bahkan men-tiga seperti yang mereka lakukan. Harapan-harapan indah tergambar sudah. Sayangnya, aku belum tahu triknya. Bagaimana, nih?

Pucuk dicinta ulam tiba. Bagai orang mengantuk disodori bantal. Barangkali ungkapan tersebut tepat dipakai untuk menggambarkan kondisiku. Beberapa bulan menjelang pernikahanku, peluang selingkuh itu datang. Tentu saja peluang tadi tidak kusia-siakan. Sekian waktu main mata, akhirnya ada juga yang kecantol. Yang mengajakku teman seruang. Dengan sedikit berdebar, aku jalani perselingkuhan tadi. Aku takut jika petualangan ini diketahui oleh teman-teman lain. Memang gelagatku sempat dicium oleh beberapa senior. Akan tetapi, mereka memilih menutup mata. Dari perselingkuhan kilat itu aku dapat 350 ribu. Padahal di awal dia menjanjikan 450 ribu padaku. Tidak apalah. Aku pikir ini pengalaman pertama dan ini hanya menjadi batu loncatan. Jika sudah cukup pengalaman, tentu nilai jualku meningkat.

Selingkuh itu candu. Pengalaman pertama berselingkuh membuatku ketagihan. Kemudian kutahu, ternyata beberapa teman sekantor juga asyik mencicipi sensasi selingkuh. Apalagi kemudian muncul godaan-godaan baru. Dari hasil kasak-kusuk dengan beberapa teman, aku tahu ternyata mereka juga punya hasrat berselingkuh. Sebagai pemain baru, aku dan mereka begitu berhasrat untuk meneruskan petualangan. Kondisi ini membangkitkan keberanian kami. Aku lalu mencoba mencari peluang di luar.

Ada dua pengalaman selingkuh dengan orang luar kantor yang paling mengesankan. Pertama dengan orang solo. Aku mengenalnya dari temanku. Dia begitu posesif. Maunya dinomorsatukan. Segala keinginannya harus diutamakan. Mungkin karena dia masih sebaya denganku. Padahal aku tidak bisa meninggalkan yang utama di klaten. Ya sudahlah. Demi  kelangsungan hubungan, aku rela pulang kantor nglajo ke solo menjumpainya. Sampai di klaten lagi jam 8 malam. Itu pernah kulakukan dua-tiga kali dalam sepekan.

Suatu hari dia nekad menyusul ke klaten. Lewat telepon, dia memaksa bertemu denganku. Aku sempat panik oleh tuntutan tadi. Terus terang aku tidak berani mengambil risiko menemuinya. Tapi karena dia terus memaksa, akhirnya kita sepakat bertemu di tempat kos temanku. Pertemuan yang tidak sampai setengah jam itu menjadi akhir hubungan intensif kami. Sejak itu dia seakan melupakanku. Nah, giliran aku yang mengejar-ngejar dia. Secara berkala aku kirim pesan pendek padanya. Aku tidak mau dia begitu saja melupakanku. Apalagi aku belum mendapatkan apa yang dia janjikan. Dia pernah menjanjikan uang padaku jika mau memenuhi keperluannya. Beberapa bulan kemudian, dia meminta bertemu lagi. Namun dia enggan menemuiku. Melalui temannya, segepok uang dia berikan padaku. sayangnya, sikapnya waktu itu sudah tidak semanis dulu. Aku merasa tidak berarti. Habis manis, sepah dibuang. Huh!!!

Akhiran yang berbeda kurasakan ketika menjalin hubungan dengan yang satunya. Aku merasakan soft landing selama berhubungan dengan orang jogja ini. Pembawaannya kalem. Persuasinya mengikat aku untuk setia pada janji. Mungkin gaya ini dipengaruhi oleh kematangan usia dan pengalamannya. Yang  kutahu, aku bukan satu-satunya orang yang menjalin hubungan dengannya. Dengan gaya jogja, dia berhasil mengambil hatiku. Jika aku datang menemuinya, dia berusaha menjamuku dengan baik. Kadang-kadang dia memberi buah tangan. “maaf, ini sekedar uang transport,” katanya merendah saat menyerahkan sebuah amplop putih. Itu dia berikan setelah meyakinkan aku untuk mematuhi keinginannya. Barangkali pemberian ini juga yang membuatku bertekuk lutut padanya. Seperti perselingkuhanku yang sebelumnya, muara hubungan itu pun berupa materi. Sambil tersenyum ramah, dia sodorkan segepok uang padaku. inilah harga kesetiaan yang telah kutunjukkan kepadanya.

Entah penilaian apa yang akan anda berikan padaku. yang jelas, semua perselingkuhanku terjalin dalam suatu kontrak kerja profesional. Simbiosis mutualisme menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan pola hubungan itu. Mitra selingkuhku pun bukan sembarang orang. Mereka menawariku karena melihat kapabilitasku sebagai awak penerbit. Pengalaman menyiasati ranjau-ranjau penilaian buku menjadi nilai jual diriku. Inilah yang mereka hargai dariku melalui segepok uang yang diberikan. Aku terlibat perselingkuhan sebagai ghost writer.

Jangan bayangkan aku terus merasa bahagia. Dalam hati kecilku, aku menangis. Apalagi kemudian ALLAH menyodorkan skenario yang maha indah di depan mataku: Buku-buku yang kutulis di luar ternyata lulus penilaian ketat BSNP. Ya, ada 3 buku yang akhirnya dibeli oleh pemerintah menjadi buku sekolah elektronik (BSE) di tahun 2008-2009. Akan tetapi, lagi-lagi bukan aku yang akan menikmati hasilnya. Orang tidak akan percaya bahwa sesungguhnya itu buku garapanku. Ternyata tak selamanya selingkuh itu indah.

foto: http://www.womansavers.com/images/affairs.jpg

Status: Editor, Kerja: Ghost Writer. Mau?

Ternyata kerja editor tidak sebatas mengedit naskah tulisan orang lain. Pada kondisi tertentu, editor justru menjadi ghost writer. Alih profesi ini biasa terjadi menjelang penilaian buku oleh Badan Standardisasi Nasional Pendidikan.

Tentu saja tidak tepat jika kita menyimpulkan bahwa editor sama dengan ghost writer. Kedua profesi itu berbeda. Editor digunakan untuk menyebut orang yang bertugas menyunting draft buku serta menata kalimat agar pembaca lebih mudah memahami isi buku. Sementara itu, ghost writer digunakan untuk menyebut orang yang bekerja menyusun tulisan (buku, artikel, naskah pidato) bagi orang lain. Ketika tulisan itu diterbitkan ke muka publik, nama yang tercantum ialah nama orang yang memesan tulisan itu. Biasanya, ghost writer bekerja berdasarkan pemikiran dan data yang dimiliki si pemesan.

Ada juga ghost writer yang hanya ‘pinjam nama’ tokoh atau pakar. Ide, pemikiran, dan literatur tulisan dicari sendiri oleh si penulis bayangan. Selanjutnya, setelah naskah jadi, dia cantumkan nama tokoh atau pakar tersebut sebagai penulisnya. Jadi, sesungguhnya kerja editor itu berbeda dengan kerja ghost writer. Editor cukup menyunting naskah karya penulis. Dia bertanggung jawab atas keterbacaan naskah tersebut. Maksudnya, editor harus menjamin bahwa buku tersebut akan dapat dipahami pembaca dengan mudah. Itu saja.

Namun, pada kenyataannya kerja editor tidaklah mudah. Apalagi kerja menyunting naskah buku yang ditujukan untuk dunia pendidikan, seperti buku teks pelajaran dan buku pengayaan. Selain harus memahami tata bahasa Indonesia, editor juga dituntut memahami standar isi dan standar kompetensi. Inilah kurikulum yang sudah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Nah, di sini permasalahan muncul. Sering naskah yang dikirim oleh penulis luar belum memenuhi tuntutan kurikulum tadi. Sementara editor dituntut untuk merampungkan buku tersebut dalam waktu yang singkat. Editor cukup lega jika penulis buku itu mau dan mampu bekerja sama untuk memperbaiki naskahnya. Kalau menjumpai penulis yang terlalu sibuk dengan pekerjaan pokok atau enggan memperbaiki dengan alasan ‘tidak sanggup’, editor harus mau berjibaku memperbaikinya.

edit teks

Jangan sepelekan peran editor.

Pagi sampai siang browsing materi. Selepas makan siang, susun data hasil surfing dan memasukkannya ke dalam naskah. Ibarat pekerja bangunan, editor harus menyusun ulang tatanan batu bata materi agar menjadi bentuk bangunan buku yang diinginkan. Malam haripun kerja tidak berhenti. Supaya mata tetap melek, kopi dan cemilan menjadi teman kencan. Dini hari tubuh sudah menuntut istirahat. Bagi yang sudah berkeluarga, mereka memilih pulang ke rumah. Sedangkan yang masih bujang asyik-asyik saja tidur di kantor: gelar tikar, setel lagu lembut (kalau aku pilih alunan sax Kenny G atau  piano Richard Clayderman), dan kerudungan sarung. Ritme kerja seperti ini dapat berlangsung berhari-hari. Tidak heran jika tampilan editor saat itu terlihat kuyu, kecapekan, dan susah senyum. Pokoknya njelehi, deh.

Kerja spartan semacam ini berakhir jika dummy buku telah jadi. Ini prototype buku yang akan dinilaikan ke BSNP. Lega rasanya jika berhasil menyelesaikan etape marathon ini. Semua perasaan tidak nyaman langsung lenyap. Akan tetapi, perasaan lega itu tidaklah lama. Ketika melihat daftar susunan tim produksi, biasanya editor merasa masygul.

Mengapa? Karena yang tertulis sebagai penulis buku itu tetap penulis awal. Dia hanya tercantum sebagai editor. Padahal de facto yang bekerja menyusun ulang buku tersebut ialah editor. Dia telah memutar otak untuk membuat pola buku yang menarik. Dia juga yang telah mengerahkan segala daya untuk mewujudkan buku itu agar memenuhi segala persyaratan BSNP. Namun, kelak ketika buku itu dinyatakan lulus penilaian dan dibeli pemerintah sebagai buku sekolah elektronik (BSE), kontribusinya hanya tercatat sebagai editor. Penulislah (notabene tenaga pendidik di instansi pemerintah) yang akan mendapatkan poin untuk menjangkau jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.

Berkali-kali aku mengalami kondisi seperti tadi. Berkaca dari pengalaman tersebut, aku menyimpulkan bahwa statusku memang editor. Akan tetapi, kerjaku sebagai ghost writer. Anda tertarik tantangan ini?

sumber gambar: http://www.automaticsync.com/captionsync/wp-content/uploads/copy_edit.jpg