Tag Archive | agustina prastowo

Tentang Sepeda: Masa SMA

Bersepeda tetap menjadi pilihan terbaik bagi saya saat meneruskan pendidikan di SMAN 1 Purworejo. Lagi-lagi karena alasan yang sama. Posisi rumah saya di Paduroso membuat saya harus dua kali naik angkot untuk tiba di sekolah. Demikian pula saat pulang. Karena jarak tempuh yang lebih jauh, waktu yang diperlukan pun menjadi lebih lama. Otomatis berjalan kaki tidak lagi merupakan alternatif cara yang bisa dipakai.

Sepeda onta.

Rute bersepeda yang paling singkat ialah menembus kampung Kalikepuh-Doplang-batas kota. Rute ini menjadi pilihan terbaik bagi anak-anak sekitar Mranti, Lugosobo, hingga Seren dan Mlaran. Tidak hanya pelajar SMAN 1 Purworejo yang melalui jalur ini. Banyak siswa daerah Gebang yang belajar di beberapa sekolah di sepanjang jalan tentara pelajar yang memilih lewat sini. Selain dekat, jalannya relatif aman dan sepi. kami melalui daerah perkampungan, sehingga jarang berpapasan dengan mobil atau kendaraan besar lain. satu-satunya kendaraan besar yang kadang saya temui hanyalah loko jengki dengan satu gerbong yang melaju antara stasiun Purworejo-stasiun Kutoarjo. Itupun hanya terjadi di pagi dan sore hari saja.

Sepeda jengki biru masih setia menemani saya. Sepeda jengki seolah menjadi sepeda favorit bagi siswa sekolah. Beberapa teman mengendarai sepeda onta. Ukurannya lebih besar daripada sepeda jengki. Palang horizontalnya membuat sepeda berwarna coklat besi itu kelihatan gagah. Seingat saya, sepeda onta yang dipakai beberapa teman saya dulu tidak jelas warna catnya. Mungkin sudah tidak lagi bercat mengingat wilayah edarnya dari satu sawah ke sawah lain. Namun, ternyata sepeda khas petani itu juga pantas dinaiki anak berseragam putih-abu-abu. Bahkan, teman-teman saya tampak bangga dengan tunggangannya.

Sepeda federal.

Sewaktu SMA jenis sepeda gunung (mountain bike/mtb) tengah naik daun. Merk yang pertama dikenal dari jenis sepeda itu federal. Nama itu kemudian digunakan untuk menyebut semua merk sepeda mtb. Ukuran kerangka sepedanya lebih besar daripada sepeda jengki. Timbul kesan gemuk ketika melihat sepeda mtb. Namun daya tarik utamanya di mata saya terletak pada gigi-gigi roda yang bertumpuk di depan dan belakang. Dengan gir model ini, si pengendara dapat mengatur kecepatan sepedanya sesuai kebutuhan. Saat berangkat ke sekolah, tanjakan paling berat dirasakan di kampung kalikepuh. Mereka yang mengendarai sepeda federal bisa mengatur gir pada posisi besar sehingga genjotan terasa ringan. Sesampai di tempat datar, gir mereka pindah ke posisi kecil. Laju sepeda pun bertambah kencang. Fleksibel sekali. Ini berbeda dengan sepeda onta dan sepeda jengki yang saya naiki. Sayang sepeda mtb harganya cukup mahal. Namun akhirnya saya pun bisa merasakan sensasi sepeda federal ketika adik saya dibelikan sepeda seperti itu.

Selain tanjakan Kalikepuh, tanjakan batas kota juga cukup curam. Dari jarak 50 meter, kami harus sudah mengambil ancang-ancang. Rem depan harus dimanfaatkan agar bisa berhenti tepat di titik tertinggi. Kami mesti berhenti sejenak diantara sepeda-sepeda yang sudah berjajar di situ. Setelah arus lalu lintas Purworejo-Kutoarjo sepi, barulah sepeda kami kayuh menyeberangi jalan.

Walaupun banyak siswa yang melintasi jalan tersebut, tapi kami hanya bersepeda bersama teman-teman satu sekolah saja. Muncul pengelompokan berdasarkan sekolah. Ada kelompok SMAN 1, ada kelompok STMN 1, atau kelompok STM YPP. Setiap kelompok bisa asyik bercerita sepanjang jalan. Akan tetapi masing-masing penyepeda merasa enggan untuk bergabung dengan rombongan penyepeda dari sekolah lain. Meski saya bersepeda sendirian di belakang rombongan sekolah lain yang tengah asyik bercerita, saya tidak akan ikut bergabung. Saya tidak tahu apakah ini ekspresi kesombongan atau justru keminderan. Yang jelas tanpa sadar kami telah belajar mengkotak-kotakkan diri: siapa yang termasuk ingroup dan siapa yang outgroup.

Setelah ujian akhir SMA, saya dan beberapa teman A4 bersepeda santai. Tempat yang dituju curug Sumongari. Widiharto, M. Jauhari, Bayu Irawan, Nuri Fananto, Handi Tri Ujiono, dan Teguh Purnomo. Itu nama anggota rombongan kami. Petualangan  bersepeda ini sangat mengesankan bagi saya. Kami mesti menyisir jalan di tepi sungai. Air mengalir di sela bebatuan yang besar. Setelah melewati jalanan terjal yang menanjak akhirnya kami sampai di curug tadi. Puas menikmati suasana dan berfoto-foto, kami pulang. di tengah jalan mendung yang menggantung sejak pagi berubah menjadi titik-titik hujan. Rasa lelah pun berkurang.

Sebenarnya kami juga berencana bersepeda ke pantai. Sayangnya, rencana itu gagal. Kami keburu berkonsentrasi menghadapi UMPTN. Walhasil, bersepeda ke curug Sumongari menjadi acara cycling pertama dan terakhir kami.

Tentang Sepeda: Masa SMP

Saya lulus dari SDN Sebomenggalan tahun 1989. selama saya bersekolah di SD, keluarga saya tinggal di Baledono Ngentak. Setelah itu saya sekeluarga pindah ke Paduroso. Kelurahan ini masih termasuk wilayah Kecamatan Purworejo. Letaknya di sebelah barat Mranti, berbatasan dengan Lugosobo, Kecamatan Gebang. Karena saya bersekolah di SMPN 2 Purworejo, saya menggunakan sepeda untuk pergi dan pulang sekolah.

Sepeda menjadi pilihan utama saya karena lebih hemat waktu dan biaya. Bayangkan saja.  Seandainya saya menggunakan angkutan umum, saya harus dua kali berganti angkutan. Pertama, saya mesti naik angkudes jurusan Gebang-Purworejo. Biasanya sampai di warung pantes, angkudes sudah penuh penumpang. Dalam kondisi seperti itu, sopir enggan menghentikan kendaraannya untuk mengangkut penumpang yang menunggu di warung pantes. Akibat sering mendapat perlakuan semacam itu, saya lebih memilih naik minibus jurusan Kebumen-Purworejo. Saya turun di pasar pagi/terminal lama. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kopada jurusan Purworejo-Kutoarjo, turun di depan sekolah. Kopada rute ini juga menjadi pilihan seandainya saya naik angkudes rute Gebang-Purworejo. Bedanya, saya naik dari terminal angkudes yang dibangun di bekas pasar Tanjung (sebelah timur bioskop Pusaka).

Untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum, saya memerlukan waktu sekitar 30 menit. Waktu itu bisa menjadi lebih lama jika saya tidak segera terangkut angkudes atau minibus.

Sementara jika menggunakan sepeda, waktu yang saya perlukan sekitar 20 menit. Rute yang biasa saya tempuh dari rumah melewati Mranti. Setiba di tangsi tentara Tuk Songo, saya belok kanan lewat bawah buh semurup, lalu ke timur ke arah alun-alun besar Purworejo. SMPN 2 Purworejo hanya dibatasi kantor pos dan kantor telkom dari alun-alun tadi.

Sepeda semacam ini yang saya gunakan bersekolah sehari-hari.

Sepeda jengki merk phoenix warna biru menjadi andalan saya. Dengan sepeda tersebut saya menempuh jalanan yang menanjak setiap pagi. Tanjakan mulai terasa saat tiba di sekitar tangsi tentara Tuk Songo. Kita bisa melihat jelas kondisi tersebut ketika membandingkan posisi tangsi dengan pompa air PDAM yang ada di depannya. Kondisi yang sama juga dijumpai kala kita melewati pasar Suronegaran dari arah TK Rimbani. Dari sini saya menyimpulkan bahwa posisi pusat kota Purworejo berada di wilayah yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Tidak mengherankan jika ada yang mengibaratkannya dengan bathok mengkurep.

Saya bisa merasakan betapa ringannya mengayuh sepeda ketika pulang sekolah. Karena tidak memerlukan banyak energi, dengan senang hati saya memboncengkan teman-teman yang searah. Beberapa teman yang tinggal di perumahan Mranti sering menjadi pembonceng sepeda saya. Karena kondisi jalannya lebih halus, saya memilih lewat pasar Suronegaran ke barat. Selanjutnya tinggal membelok ke kanan hingga sampai di perempatan perumahan Mranti.

Selain rute tadi, ada rute lain yang lebih singkat. Rute ini biasa ditempuh oleh teman-teman yang memilih berjalan kaki menuju sekolah. Saya menyebut rute ini dalan kebo, karena saya harus menyusuri pematang sepanjang saluran irigasi. Saluran itu terbentang dari pojok Puskesmas Purworejo II (Mranti) hingga pojok SD Tirtodranan (Sindurjan). Di sebelah kanan dan kiri saluran terdapat petak-petak sawah warga Mranti dan Sindurjan. Kondisi pematang (dalan kebo) itu tidak rata. Lebarnya sekitar 1,5 meter namun di beberapa titik pematang menyempit. Sepatu teman-teman yang melintasi jalan ini di pagi hari akan basah oleh embun yang menempel di rerumputan. Sementara jika pulang sekolah lewat sini, kami mesti bertopi untuk mengurangi sengatan sinar matahari. Maklum, tidak ada pohon-pohon peneduh di sepanjang pematang.

SMPN 2 Purworejo dilihat dari depan.

Saya punya pengalaman kecut dengan dalan kebo ini. Suatu pagi di tanggal 14 Agustus. Saya sudah kelas II SMP. Perasaan saya tidak nyaman ketika tiba di sekolah. Ini disebabkan karena teman-teman saya memakai seragam pramuka, sementara saya berseragam putih biru. Saya tidak ingat dengan pengumuman hari sebelumnya tentang peringatan hari pramuka. Pengumuman semacam itu biasanya ditulis di buku besar dan diedarkan berkeliling kelas. Guru yang tengah mengajar lalu membacakan pengumuman itu di depan kelas. Mengingat aturan tentang kedisiplinan yang diajarkan di sekolah, saya memutuskan untuk pulang berganti baju walaupun jam sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB. Saya akan lewat pematang saja agar tidak terlambat tiba di sekolah. Sepeda pun saya kayuh cepat-cepat.

Setiba di rumah, saya segera berganti seragam pramuka. Ibu sempat berpesan agar saya berhati-hati di jalan. “Ya, bu,” jawab saya. Tanpa membuang waktu, saya kembali menyusuri dalan kebo. Jalan tanah yang tidak rata tidak membuat saya mengurangi kecepatan. Sengaja saya tidak duduk di sadel agar tidak mumbul-mumbul. Tiba-tiba roda sepeda saya menabrak batu cukup besar. Batu itu menonjol dari permukaan tanah. Saya berusaha menjaga keseimbangan sepeda. Sepeda pun melaju ke arah saluran air. Pikiran saya menyuruh saya untuk membanting kemudi ke arah kanan. Namun di sebelah kanan terdapat sawah dengan padi yang baru tumbuh. Seandainya saya banting kemudi ke kanan, pasti sepeda tercebur ke sawah. Tanaman padi itu bisa rusak. Rupanya sudah tidak ada waktu untuk berpikir. Dalam waktu sepersekian detik, roda depan sepeda saya sudah tidak menginjak tanah. Saya kecebur dengan sukses di saluran irigasi itu, bersama sepeda saya. Seragam pramuka saya basah. Sepatu dan kaos kaki hitam pun basah.

Sekitar 20 meter dari tempat saya jatuh ada seseorang yang tengah membuang hajat. Namun dia lebih memilih menuntaskan keperluannya daripada menolong saya. Saya pun segera mengangkat jengki biru itu lalu meneruskan perjalanan. Saya tidak sempat memperhatikan reaksi orang tadi ketika saya melintas di depannya. Yang terlintas di kepala hanya satu: saya harus menambah kecepatan agar tidak terlambat sampai di sekolah.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Upacara sudah dimulai waktu saya tiba di gerbang sekolah. Pintu besi itu digembok dan dijaga oleh guru piket. Ternyata yang terlambat tidak hanya saya. ada beberapa teman yang tertahan di luar pagar. Kondisi ini sedikit melegakan saya. saya tidak sendirian menemui guru piket nanti.

Bagi murid sekolah saya, terlambat merupakan salah satu kesalahan yang memalukan. Ya, namanya sekolah favorit (kala itu), guru selalu menekankan bahwa kami berbeda dengan siswa sekolah lain. untuk masuk saja mesti melalui seleksi akademis yang ketat. Pada waktu itu, kriteria penerimaan siswa baru sebatas kemampuan akademis saja. Faktor kemampuan orang tua menyumbang uang ke sekolah bukan menjadi penentu diterimanya seorang siswa. Oleh karena itu, sekolah berusaha membangun kesadaran diri yang baik di benak siswa. kesalahan dan kecurangan selama belajar dipahamkan sebagai sesuatu aib yang harus dihindari. Dalam sistem sosial semacam itu, siswa yang terlambat akan menjadi objek sindiran teman-temannya.

Seusai upacara hari pramuka, guru piket segera mendata siswa yang terlambat. Perasaan saya campur aduk kala itu. Ada rasa bersalah karena telah melakukan satu tindakan yang tidak dibenarkan oleh aturan sekolah. Ada juga rasa malu karena akan menjadi olokan teman-teman. Apalagi dengan kondisi badan basah kuyup begini. Dengan terbata-bata sambil menahan tangis (cengeng juga saya, ya) saya kemukakan kronologis kejadian yang saya alami. Akhirnya guru menyuruh saya pulang ke rumah berganti seragam. Saya pun merasa lega karena tidak mendapat teguran keras tadi.

Kali ini saya mengayuh sepeda dengan santai. Tidak perlu ngebut lagi. Pakaian putih-biru kembali saya pakai. Bahkan perut saya sudah terisi sepiring nasi lagi. Lumayan, dalam waktu satu jam saya sudah makan dua kali.

Pengalaman saya itu rupanya menjadi bagian dari kenangan masa SMP seorang teman. Dua puluh tahun kemudian, melalui facebook, teman SMP saya itu mengingatkan saya tentang kejadian tersebut. Wah, rupanya bukan hanya saya yang ingat kejadian itu. Hehehe….

Tentang Sepeda: Masa Kanak-kanak

Sepeda merupakan salah satu benda yang akrab dalam kehidupan saya. Bermula dari sepeda roda tiga di masa kanak-kanak dulu. Sepeda saya bercat biru, sementara punya adik saya berwarna merah. Hampir semua bagian sepeda terbuat dari besi. Pedalnya menyatu dengan roda depan. Setangnya tanpa rem karena laju sepeda bisa diatur dengan kaki. Ada 2 tempat duduk sepeda jenis ini. Pengendara duduk di atas sadel besi berbentuk segitiga. Pembonceng duduk di bagian belakang berbentuk kotak yang lebih luas. Jok dengan gabus tipis membuat si pembonceng dapat duduk nyaman. Posisi sadel pengendara lebih tinggi daripada tempat duduk pembonceng. Rodanya karet mentah. Kalau lewat jalan kampung saya yang belum beraspal (kala itu), yang mengendarainya akan mumbul-mumbul.

Saya biasa bermain sepeda semacam ini bersama adik dan dua orang teman di pekarangan sebelah rumah simbah. Di tanah berbentuk leter L seluas sekira 100 m itulah kami aman mengayuh sepeda roda tiga. Kami tidak khawatir dengan sepeda besar dan kendaraan yang lalu lalang di jalan kampung karena terdapat pohon teh-tehan yang memagarinya. Debu-debu jalan tanah pun tersaring oleh jajaran pohon itu.

Ujung jalan itu buh penceng. Kali Kedung putri dari depan rumah simbah.

Selain di pekarangan tadi, kami bisa bermain sepeda roda tiga di lapangan badminton RT sebelah. Saya masih ingat pada tahun 1985-1989 di Baledono Ngentak sudah cukup susah menemukan lahan untuk bermain anak-anak. Saat itu ruang bermain kami hanyalah pekarangan tetangga, jalan setapak yang sudah dibeton, atau berenang di kali Kedung Putri. Kenangan tentang kali yang melintasi belakang Pasar Baledono lalu membelah kecamatan Purworejo itu tidak mungkin hilang dari benak saya. Insya Allah akan saya ceritakan di tulisan lain.

Kembali ke topik sepeda. Menginjak usia SD, teman-teman saya beralih ke sepeda anak beroda dua. Mereka begitu bersemangat belajar mengendarai sepeda jenis itu. demikian pula adik saya. Tidak heran jika dalam waktu singkat mereka bisa naik sepeda roda dua. Namun saya takut ikut berlatih sepeda itu. saya takut jatuh lalu kaki berdarah karena terantuk batu. Akibatnya, barangkali hanya saya yang tidak bisa mengendarai sepeda roda dua. Sejak saat itu mereka enggan bermain sepeda roda tiga. Barang itupun hanya teronggok di dapur rumah simbah saya. Suatu hari dengan alasan bersih-bersih, dua sepeda roda tiga milik saya dan adik saya pun dijual ke tukang loak.

Sewaktu duduk di kelas 2 SD, saya mesti menjalani operasi amandel. Operasi dilakukan di RSU Purworejo. Untuk menyenangkan hati saya, bapak dan ibu membelikan sebuah sepeda mini merk Olympic. Sepeda itu berwarna merah dengan keranjang warna putih. Ukurannya 1,5 kali lebih besar daripada sepeda mini merk Phoenix. Karena saya masih merasa takut belajar sepeda, bertahun-tahun sepeda itu hanya dipakai oleh paklik dan bulik saya.

Sepeda bmx yang membuat penunggangnya tampil gagah.

Sepeda bmx yang dulu begitu gagah di mata saya.

Tahun 1988 beberapa teman saya membeli sepeda BMX. Gagah sekali mereka di mata saya saat mengendarai sepeda itu. tanpa keranjang, tanpa slebor panjang, tanpa lampu. Saya membayangkan mereka seperti crosser dengan motor trailnya. Sore hari mereka bersepeda sepanjang jalan setapak kampung saya. Tidak jarang di minggu pagi mereka bersepeda ke utara hingga Baledono Singodranan atau ke timur hingga buh liwung kali Bogowonto. Pulangnya lewat pesarean kuncen lalu ke barat ke pasar Baledono. Saya yang tidak bisa naik sepeda dibonceng dengan duduk di palang. Berada di depan dengan berpegangan setang membuat saya merasa bisa naik sepeda sendiri. Karena merasakan asyiknya bersepeda, akhirnya saya pun ingin belajar naik sepeda. Sepeda mini yang bertahun-tahun tidak saya sentuh, kini saya tuntun ke pekarangan tetangga. Kaki kanan menginjak pedal sementara kaki kiri menyentuh tanah. Begitu sepeda berjalan, kaki kiri saya angkat. Seerdug… seerdug…. lambat laun kaki kiri saya bisa menginjak pedal kiri. Namun mengayuh pedal sepeda pun bukan perkara mudah bagi orang yang sedang belajar. Rasanya berat. Sayapun hanya berdiri di atas kedua pedal sambil menyetanginya. Akibatnya sepedapun melambat. Sesaat setelah sepeda berhenti melaju, dengan sigap saya menapakkan kaki. Biar tidak jatuh kerobohan sepeda yang besar dan berat itu. hehehe ….

Jatuh saat bermain sepeda ternyata tidak sesakit yang saya takutkan. Semangat untuk segera bisa naik sepeda membuat saya tidak menggubris rasa perih di lutut saya. Setelah beberapa kali menabrak rumpun pohon pisang di pekarangn tadi, sore harinya saya semakin lancar naik sepeda. Rasa perih itupun tidak lagi terasa. Sejak saat itu saya pun bisa ikut teman-teman bersepeda keliling kampung. Cihuy….

Bersepeda ke rumah simbah teman saya di Kutoarjo merupakan pengalaman bersepeda paling mengesankan bagi saya. Kejadiannya terjadi di saat liburan awal ramadhan. Sehabis sholat subuh di masjid, teman saya mengajak untuk bersepeda ke rumah simbahnya. Katanya, pohon rambutan simbahnya tengah berbuah. Siap dipetik. Tawaran itu menarik sekali bagi kami. Beberapa orang teman pun mengiyakan tawaran tadi. Kami berangkat berbonceng-boncengan. Anak-anak yang lebih kecil seperti saya dan adik saya diboncengkan anak yang lebih besar.

Matahari yang semakin panas membuat rasa haus cepat datang. Namun bayangan manisnya rambutan yang bisa dipetik untuk berbuka nanti menumbuhkan semangat kami. Sayangnya sesampai di kutoarjo, rupanya rambutan itu belum matang. Kami pun pulang dengan tangan hampa. Hidangan lain yang disajikan pun tidak kami makan karena sedang puasa. Pagi itu jarak 10 km yang harus kami tempuh dengan sepeda menjadi terasa begitu berat.

Kepergian saya dan adik saya tanpa pamit bapak dan ibu. Ini sangat mencemaskan perasaan beliau. Bapak saya berkeliling ke sejumlah tempat keramaian mencari anak-anaknya. Di sekitar Pasar Baledono dan Pasar Tanjung, kami tidak ditemukan. Di bioskop Pusaka dan Bagelen juga tidak ada. Di alun-alun dan lapangan garnizun juga tidak ada. Ibu saya semakin cemas. Apalagi saat itu tengah muncul isu penculikan anak. Duh, pikiran bapak dan ibu saya kalut karena sudah berjam-jam anaknya pergi keluar rumah. Setelah beberapa kali menyisir tempat-tempat keramaian tadi, bapak berhasil bertemu rombongan sepeda saya. Wajah cemas beliau langsung saya tangkap. Wah, pasti saya akan disidang nanti di rumah.

Tebakan saya benar. Sesampai di rumah, saya langsung diinterogasi. Dengan badan mandi keringat hasil terpanggang sinar matahari pagi, saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan saya pagi itu. Rasa haus semakin mencekat karena saya nangis kala dimarahi bapak dan ibu. Akan tetapi saya semakin menyadari betapa bapak dan ibu sangat menyayangi anak-anaknya. Beliau tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada diri kami. Selesai kami mandi pagi, bapak menyuruh saya dan adik saya sarapan. Batallah puasa di hari itu.

Kenangan Ramadhan 1432 H (bag. 1)

3 Agustus 2011 di waktu sahur.

“Selamat hari jadi, Yah.” Senyum manis terlukis di wajah cantik itu. Binar kebahagiaan memancar dari matanya yang indah. Saya pun berusaha memberikan senyuman setulus hati bagi wanita yang setia bersama membangun mahligai rumah tangga.

Ini memang hari istimewa bagi kami. Enam tahun yang lalu kami mengikat janji untuk menyempurnakan separuh agama. Tanggal 3 Agustus 2005 jatuh di hari Rabu. Kini tanggal dan bulan yang sama jatuh pula pada hari Rabu. Di pekan pertama bulan Ramadhan pula. Sungguh suatu kebetulan yang sangat indah untuk dikenangkan.

Pikiran saya mencoba menyusuri kembali jejak perjalanan kami berdua. Hubungan ini berawal dari keisengan teman mengenalkan saya lewat telepon. Saat itu teman saya bekerja di tempat yang sama dengan gadis itu. Upaya saling mengenal pribadi masing-masing kami lanjutkan via email dan handphone. Inilah sarana yang kami pilih untuk mendekatkan jarak ratusan  kilometer antara Jakarta dan Klaten. Pemikiran yang dia lontarkan dalam sejumlah obrolan semakin memantapkan niat saya unuk menikah dengannya. Saya merasa telah mendapatkan jawaban atas doa yang sekian lama saya mohonkan kepada Allah swt.

Sejumlah peristiwa menghiasi perjalanan rumah tangga kami. Satu persatu harapan kami dipenuhi oleh Allah. Alhamdulillah, Allah swt. menitipkan seorang putra guna mendewasakan kami. Tingkah polah, keceriaan, serta sikap cerdas Dzaky menghiasi  rumah kami yang sederhana. Walaupun Dzaky masih anak-anak, kami berusaha memosisikan dia sebagai pribadi utuh. Dengan sepenuh hati, kami berusaha mengolah potensi yang Dzaky miliki. Namun bukan berarti kami memanjakan anak. Ketika harus bersikap tegas, sedapat mungkin kami sampaikan lewat bahasa cinta. Ternyata langkah sederhana itu mampu menghidupkan hati Dzaky. Sikap empati selalu dia tunjukkan kepada teman tatkala bermain. Dzaky juga tidak segan meminta maaf jika berbuat salah.

Peristiwa 24 Desember 2010 menjadi ujian kedewasaan dalam keluarga kami. Selepas sholat Jumat, saya ditabrak orang dari belakang. Saya pun mesti menjalani operasi patah tulang kaki kanan. Selama belasan hari saya dirawat di rumah sakit. Istri sayalah yang selalu mendampingi saya. Sikap tegar dia tunjukkan agar saya bisa melewati fase itu dengan sabar. Trauma berkendara harus dia kalahkan agar bisa tiba ke sejumlah apotek untuk menebus obat saya. Yang paling berat dirasakan ialah keharusan untuk meninggalkan Dzaky di rumah. Mengingat selama ini Dzaky selalu bersama ibunya. Ketika saya di rumah sakit, dzaky hanya bertemu ibunya di pagi hari. Itupun hanya 2-3 jam. Untung ada nenek, tante, dan sepupunya yang sengaja datang ke Klaten untuk menemani Dzaky. Kehadiran keluarga besar membantu anak saya segera menyesuaikan diri dengan perubahaan keadaan.

Menginjak bulan kedelapan pasca kecelakaan, rutinitas belum berubah. Dengan menggunakan kruk saya melakoni aktivitas harian. Saya berangkat kerja membonceng teman. Sore harinya istri dan anak saya yang menjemput. Terapi mesti saya jalani sepekan sekali. Setiap bulan saya mesti memeriksakan perkembangan kesehatan pasca operasi. Ke mana-mana kami berboncengan motor bertiga.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Itulah ungkapan yang paling tepat saya haturkan kepada Allah swt. Enam tahun mengarungi bahtera rumah tangga semakin menguatkan ikatan batin kami. Dari istri, saya belajar bersikap sabar dan optimis. Dari Dzaky, saya bertekad menjadi ayah yang layak diteladani. Dari orang-orang yang mencintai saya, saya belajar tentang keikhlasan pengorbanan. Sungguh sempurna skenario hidup yang Allah rancang bagi kami sekeluarga.

 

Tadarus

Bismillahirrahmanirrahim
Brenti mengalir darahku menyimak firman-Mu

Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya:
Bumi itu kenapa?)

Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan

Liyurau a’maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
‘Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan
pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan
pun akan melihatnya)

Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu

Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa’aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq’an
Fawasathna bihi jam’an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu ‘alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya
Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya’lamu idza bu’tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)

Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini ‘kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu

Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari’atu
Mal-qaari’ah
Wamaa adraaka mal-qaari’ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)

Resah sukmaku dirasuk firmanMu

Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal’ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)

Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu

Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii ‘iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah
Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)

Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini ‘kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul’ Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.

1963+1988

(Antologi Puisi A. Mustofa Bisri “Tadarus”, Prima Pustaka Yogyakarta,
1993)

Negeriku

Mana ada negeri sesubur negeriku?

Sawahnya tidak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung

Tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung

Perabot-perabot orang kaya di dunia

Dan burung-burung indah piaraan mereka

Berasal dari hutanku

Ikan-ikan plilihan yang mereka santap

Bermula dari lautku

Emas dan perhiasan mereka

Digali dari tambangku

Air bersih yang mereka minum

Bersumber dari keringatku

Mana ada negeri sekaya negeriku?

Majikan-majikan bangsaku

Memiliki buruh-buruh mancanegara

Brankas-brankas bank ternama di mana-mana

Menyimpan harta-hartaku

Negeriku menumbuhkan konglomerat

Dan mengikis habis kaum melarat

Rata-rata pemimpin negeriku

Dan handai taulannya

Terkaya di dunia

Mana ada negeri semakmur negeriku

Penganggur-penganggur diberi perumahan

Gaji dan pensiun setiap bulan

Rakyat-rakyat kecil menyumbang

Negara tanpa imbalan

Rampok-rampok diberi rekomendasi

Dengan kop sakti instansi

Maling-maling diberi konsesi

Tikus dan kucing

Dengan asyik berkolusi

(Mustofa Bisri, Pahlawan dan Tikus, 1995)

Gus Mustofa Memanggil Sahabatku

Meresapi puisi-puisi Gus Mus (Mustofa Bisri) mengajak saya merenungkan kembali langkah hidup. Adakah semua yang saya jalani ini menjadi pemberat timbangan amal? Ataukah hanya menambah panjang kesia-siaan yang saya lakukan atas masa hidup yang semakin berkurang. Lantas, apakah yang mesti dilakukan untuk kembali di jalan Allah? Itulah pertanyaan besar yang tengah bergelut di benak saya.

Saya teringat pada diskusi kecil yang sering dilakukan selama di kos-kosan dulu. Kebetulan Allah mempertemukan saya dengan ‘orang-orang hebat’ yang mencoba memaknai hidup dengan kearifan. Diskusi yang multiperspektif karena kami berasal dari berbagai latar belakang. Dari mereka saya belajar menemukan hikmah di balik pengalaman hidup Dari mereka saya belajar yakin akan kemahasegalaan Allah. Dari mereka saya belajar berani menjalani hidup. Nuansa puisi Gus Mus menghadirkan kembali memori saya tentang teman-teman itu.

Matur nuwun sanget, Gus Mus. Panjenengan sampun kersa nimbali sedherek-sedherek kula. Mila kula saged atur salam kangge Kang Fahmi (Kebumen), Mas Rahmad (Malang), Kang Son (Boyolali), Kang Pii (Klaten), Wan Salim (Jakarta), Budi (Solo), Hendi (Bondowoso), Imam (Temanggung), Zayin (Yogya), Aang (Jakarta), Seno (Bandung), Mahfud (Klaten). Assalamu’alaikum. Piye kabare?

Berikut salah satu puisi beliau yang membuat saya terkenang pada para sahabat saya.

Nasihat Ramadhan

Buat Mustofa Bisri

Mustofa, jujurlah pada dirimu sendiri.

Mengapa kau selalu mengatakan Ramadhan bulan ampunan?

Apakah hanya menirukan nabi

atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu begitu?

Mustofa, Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu.

Darimu hanya untukNya dan ia sendiri tak ada yang tahu

apa yang akan dianugerahkan kepadamu.

Semua yang khusus untukNya khusus untukmu.

Mustofa, Ramadan adalah bulan-Nya

yang Ia serahkan kepadamu

dan bulanmu serahkanlah semata-mata padaNya.

Bersucilah untuk-Nya.

Bersalatlah untuk-Nya.

Berpuasalah untuk-Nya.

Berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.

Sucikan kelaminmu, berpuasalah.

Sucikan tanganmu, berpuasalah.

Sucikan mulutmu, berpuasalah.

Sucikan hidungmu, berpuasalah.

Sucikan wajahmu, berpuasalah.

Sucikan matamu, berpuasalah.

Sucikan telingamu, berpuasalah.

Sucikan rambutmu, berpuasalah.

Sucikan kepalamu, berpuasalah.

Sucikan kakimu, berpuasalah.

Sucikan tubuhmu, berpuasalah.
Sucikan hatimu,

Sucikan fikiranmu, berpuasalah..

Sucikan dirimu.

Mustofa, bukan perut yang lapar, bukan tenggorokan yang kering

yang mengingatkan kedhaifan dan melembutkan hati.

Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering

ternyata hanya perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.

Barangkali lebih sabar sedkit dari mata, tangan, kaki, dan kelamin

lebih tahan sedikit berpuasa.

Tapi hanya kau yang tahu hasrat dikekang untuk apa dan untuk siapa

Puasakan kelaminmu untuk memuasai ridho.

Puasakan tanganmu untuk menerima kurnia.

Puasakan mulutmu untuk merasai firman.

Puasakan hidungmu untuk menghirup wangi.

Puasakan wajahmu untuk menghadap keelokan.

Puasakan matamu untuk menatap cahaya.

Puasakan telingamu untuk menangkap merdu.

Puasakan rambutmu untuk menyerap belai.

Puasakan kepalamu untuk menekan sujud.

Puasakan kakimu untuk menapak sirat.

Puasakan tubuhmu untuk meresapi rahmat.

Puasakan hatimu untuk menikmati hakikat.

Puasakan pikiranmu untuk meyakini kebenaran.

Puasakan dirimu untuk menghayati hidup.

Tidak, puasakan hasratmu hanya untuk hadiratNya.

Mustofa, ramadhan bulan suci katamu.

Kau menirukan ucapan nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu?

Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian, keserakahan, ujub, riya, takabur, dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari comberan hatimu?

Mustofa, inilah bulan baik saat baik untuk kerja bakti membersihkan hati.

Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu

yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi kau puja selama ini.

Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini seperti ramadhan-ramadhan yang lalu?

Rembang, Sya’ban 1413 H

Buka Mata-Hati-Telinga

Buka mata-hati-telinga. Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta. Yang kau inginkan tak selalu yang kau butuhkan.

Lagu yang menggema di ruang saya pagi ini mengandung makna mendalam. Saya teringat dengan segala keinginan yang pernah menggunung sebelum saya mendapat musibah kemarin. Lima bulan lalu aku masih merupakan orang dengan keinginan besar tentang dunia. Saya merasa begitu bersemangat untuk bisa mewujudkan setiap keinginan. Pada waktu itu saya sedang resah karena bisnis axogy saya tengah mandeg. Jumlah pelanggan belum bertambah. Bahkan ada yang kemudian tidak lagi membeli axogy pada saya. Ini disebabkan mereka berhenti meminum axogy atau memilih menjadi outlet axogy sendiri. Padahal saat itu saya sudah memasang target tinggi. Saya harus bisa mendapatkan pemasukan paling tidak 500 ribu perbulan. Hal ini dipicu pula oleh kenyataan bahwa sejumlah warung telah muncul di lingkungan Taman Srago. Tentu saja omzet penjualan warung saya menurun. Terjun bebas. Itu istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisinya.

Namun saya yakin Allah itu menyediakan banyak pintu rejeki bagi keluarga kami. Keyakinan tersebut mendorong saya berusaha membesarkan bisnis air murni. Saya membayangkan jika pemasukan dari axogy bisa mencapai target, saya akan dapat menggunakannya untuk membayar biaya sekolah Dzaky, biaya kursus yang perlu Dzaky ikuti, dan bayar premi tabungan pendidikan syariah. Saya membayangkan jika bisa memenuhi kebutuhan tersebut, anak saya akan merasa bahagia. Akhirnya saya pun akan merasa bahagia pula.

Sayangnya, Allah berkehendak lain. Allah memberi saya cobaan berupa kecelakaan lalu lintas pada 24 Desember 2010. Yang lebih menyebalkan lagi ialah pengalaman harus berurusan dengan orang yang buta mata hatinya seperti Saman. Dia tidak punya itikad baik menyelesaikan masalah tersebut. Saman justru mencari beking polisi agar bisa lolos dari tuduhan salah. Terus terang saya langsung kehilangan respek padanya. Padahal semula saya menghargainya karena dia sudah tua, pensiunan PNS lagi. Sebenarnya Saman sendiri yang menjatuhkan harga dirinya di mata saya dengan perbuatan culasnya.

Dalam kondisi tidak berdaya, saya terus berusaha dzikir. Mengingat bahwa semua ini adalah kehendak Allah. Allah Mahasempurna. Setiap kehendaknya pasti memberi kebaikan bagi hambaNya. Ketika menyadari hal tesebut, hati saya terasa lega. Tidak ada yang harus ditangisi, apalagi sampai menggugat Allah dengan kehendakNya. Batin saya berusaha berdamai dengan takdir tadi. Memang jika dipikir logis, tampaknya lebih banyak kerugian yang diterima daripada manfaat yang saya peroleh. Saya terpaksa menghentikan ambisi membangun bisnis. Saya dipaksa bersabar dengan segala keterbatasan gerak sekarang. Istri saya menjadi lebih repot karena harus mengelola semua urusan keluarga sendiri. Yang paling kelihatan ialah keluarnya biaya begitu besar (di atas 20 juta rupiah) untuk pengobatan kemarin. Urusan pun menjadi benang kusut karena sikap Saman yang tidak kooperatif. Itu sebagian ‘kerugian’ yang bisa disebutkan.

Apabila saya hanya memikirkan segala kerugian tadi, saya pasti akan semakin terpuruk. Guna menyeimbangkan kondisi batin, sayapun harus berusha menemukan hikmah dari kecelakaan tadi. Menurut saya jika hikmah berhasil didapatkan, saya akan lebih mudah bersikap sabar. Lantas hikmah apa yang bisa saya ungkap? Ternyata sangat banyak hikmah yang saya dapatkan. Pertama, saya menjadi sadar bahwa Allah itu dekat. Maka tidak ada satupun alasan untuk meninggalkanNya. Apa maksudnya? Ketika saya mengalami peristiwa tersebut, saya hanya bisa pasrah kepada Allah. Saya berdoa agar Allah menyelamatkan diri saya. Ini doa yang sangat tendensius karena saya merasa belum siap untuk mati saat ini. Alhamdulillah Allah mengabulkan doa saya. Walaupun sempat mengalami penurunan kesadaran ketika menjalani transfusi darah, akhirnya saya ditolong Allah melewati fase kritis. Sungguh saya merasa tidak memiliki daya apapun kecuali atas izin Allah. Sampai sekarang pun kesadaran itu begitu membekas di benak saya.

Kedua, saya menyadari besarnya kasih sayang keluarga besar kepada keluarga kami. Saat kami kerepotan menata kehidupan keluarga pasca kecelakaan, keluarga besar banyak memberikan uluran tangan. Mereka melakukan semua itu dengan ikhlas. Tidak ada pamrih apapun kecuali keinginan untuk melihat kondisi keluarga kami kembali normal. Bantuan terus diberikan walaupun kami tidak memintanya. Alhamdulillah, sekarang kondisi keluarga kami sudah pulih. Kami sudah beradaptasi dengan realitas kehidupan yang baru. Ini sangat patut disyukuri. Ketika kami limbung, keluarga besar bahu-membahu untuk menguatkan kami. Upaya mereka sangat tepat digambarkan dalam lagu Bondan Prakosa yang berjudul Ya Sudahlah. Apapun yang terjadi, aku tetap ada untukmu. Janganlah kau bersedih, cause everything gonna be okay.

Ketiga, peristiwa kecelakaan itu menjadi pupuk untuk menyuburkan rasa kasih sayang di keluarga kami. Setelah kecelakaan, praktis kemampuan bergerak saya berkurang. Otomatis istrilah yang harus mengambil alih semua urusan keluarga. Bersih-bersih rumah, memasak makanan, mengantar–jemput Dzaky ke sekolah, mengantar-jemput saya bekerja, periksa ke dokter, mengantar terapi rutin seminggu sekali, menebus obat di apotek, belanja untuk warung, sampai menyelesaikan urusan di kantor polisi dan Jasa Raharja. Semua dikerjakan istri sendirian. Mula-mula memang terasa berat. Akan tetapi karena rasa ikhlas selalu dihadirkannya dalam setiap aktivitas, sekarang semua terasa ringan dijalani. Pada waktu menyadari kerepotan istri, saya bertekad untuk membuatnya bahagia. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan coba saya kerjakan. Kadang justru istri yang merasa khawatir melihat saya beraktivitas tadi. Namun saya mencoba menepis segala kekhawatirannya. Saya memastikan bahwa aktivitas kecil itu tidak merugikan proses pengobatan. Dalam kondisi semacam ini, hati-hati kami terasa semakin dekat. Saya menemukan bukti besarnya cinta dan sayang istri kepada kami sekeluarga. Alhamdulillah. Saya pun berusaha menunjukkan pula rasa yang sama kepada istri dan anak.

Keempat, menjaga hubungan baik dengan para tetangga itu sangat menguntungkan. Sebagai pendatang, kami sekeluarga jauh dari keluarga besar. Saat mengalami kerepotan, tetanggalah yang pertama kali dimintai pertolongan. Kesadaran seperti inilah yang mendorong keluarga kami untuk menjalin hubungan baik dengan para tetangga. Alhamdulillah, ketika mengalami kerepotan, banyak tetangga yang peduli. Mereka dengan ringan hati membantu beberapa urusan kami. Namun saya juga menyadari bahwa tetangga tetaplah orang lain. Mereka punya kesibukan dan urusan masing-masing. Oleh karena itu, ketika mereka tidak optimal dalam membantu menyelesaikan urusan dengan Saman, saya bisa memakluminya. Walaupun tetangga merupakan saudara yang terdekat, namun kita tidak boleh bergantung kepda mereka. Itu yang kami ambil sebagai patokan bersikap.

Kelima, saya semakin sadar bahwa Dzaky memang anak yang luar biasa. Malam pertama saya di rumah sakit ditemani istriku. Dzaky malam itu tidur di rumah Uut. Dia sempat nglilir dan menangis menanyakan keberadaan ibunya. Namun setelah diberi keterangan oleh orang tua Uut, Dzaky bisa tenang kembali. Selama belasan hari saya dirawat di rumah sakit, Dzaky terpaksa tinggal di rumah tanpa ibunya. Dia bersama Mbah Mamak, bulik Yanti, dan Nada. Sehari-hari mereka berempat yang ada di rumah. Alhamdulillah Dzaky sangat sabar. Dia tidak rewel. Jika ibunya mau kembali ke rumah sakit, Dzaky juga tidak merajuk. Sepertinya dia sangat menyadari keadaan keluarga saat itu.

Alhamdulillah, Allah selalu menjaganya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi Dzaky. Banyak anak-anak tetangga senang bermain dengan Dzaky. Apalagi Nada, saudara sepupunya. Alhamdulillah, Allah telah menggerakkan hati-hati keluarga dan orang-orang di sekitar kami untuk berempati dengan kondisi keluarga kami saat itu.

Sebenarnya masih banyak lagi hikmah yang bisa digali dari peristiwa kecelakaan itu. Sekarang kembali pada kutipan lagu yang saya dengar pagi ini. Saya seperti diingatkan untuk berpikir positif tentang setiap peristiwa yang dialami. Ini disebabkan karena keinginan kita tidak selalu merupakan kebutuhan kita. Sementara Allah pasti memberikan kebutuhan kita. Seandainya tidak sesuai dengan harapan, yakinlah bahwa kebutuhan kita sudah dipenuhi oleh Allah. Tidak ada satupun alasan untuk meragukan itikad baik Allah kepada kita walaupun kondisi yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan.